Program Sekolah Penggerak (PSP) memasuki Angkatan 2. Penjaringan calon kepala sekolah PSP 2 dimulai 27 Agustus 2021 lalu. PSP Angkatan 1 diikuti 2.500 kepala sekolah di 111 kabupaten/kota yang telah mengimplementasikan hasil pelatihan mulai tahun ajaran 2021/2022, pada 12 Juli 2021. Seleksi kepala sekolah PSP 2 menargetkan 7.500 kepala sekolah di 139 kabupaten/kota, sehingga total dari angkatan 1 dan 2 akan melahirkan 10.000 sekolah penggerak di 250 kabupaten/kota.
Menurut Dr. Praptono, M.Ed, Direktur Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan (P3GTK), setidaknya ada tiga hal utama dari PSP. Pertama, PSP merupakan gagasan besar dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim. Ide besar Mas Menteri tersebut tidak akan berhasil dijalankan kalau cara berpikir para penyelenggaranya tidak berubah. “Benar-benar kami tekankan, dalam aktivitas dan menjalankan PSP harus berubah. Perubahan mindset sangat penting, sebagaimana ciri khas dari kebijakan Merdeka Belajar,” katanya.
Pak Direktur mencontohkan figur kepala sekolah di masa lalu, jamak yang duduk di belakang meja, memberi perintah, dan cukup mengontrol. Hasilnya, begitu banyak program pelatihan dilakukan, namun perubahan pembelajaran tidak terjadi dan hasil belajar siswa juga tidak optimal. Pelatihan hanya mengubah guru dan tenaga kependidikan pada saat pelatihan. Begitu kembali ke sekolah masing-masing, mereka kembali kepada cara-cara lama. Pada kondisi lain, ada guru datang membawa perubahan setelah mengikuti pelatihan, namun ada resistensi dari kepala sekolah yang masih enggan melakukan perubahan. Ketika guru-guru memiliki persoalan, banyak kepala sekolah tidak dapat memberikan solusi.
Padahal nafas dari kebijakan Merdeka Belajar adalah siswa menjadi pusat layanan aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Guru tidak hanya mengajar berorientasi kepada kurikulum, materi, proses dan strategi yang masih belum menyentuh kapasitas dan kemampuan peserta didik. Arah Merdeka Belajar adalah pembelajaran berpusat kepada murid. Pola pikir para guru dan kepala sekiolah harus berubah.
“Kepala sekolah bukan semata pemimpin administrasi dan manajerial, namun juga pemimpin pembelajaran. Kepala sekolah harus sangat menguasai pedagodik, komunikasi, pendampingan, dan fasilitasi. Merdeka Belajar tidak akan berhasil jika kepala sekolah tidak memiliki kapasitas pempimpin pembelajaran,” kata Praptono.
Kedua, PSP menempatkan kepala sekolah sebagai figur visioner yang mengusung perubahan. Harus ada kebersamaan, gotong royong, kolaborasi semua komponen pendidikan. Bukan hanya guru dan kepala sekolah yang berubah pola pikirnya, termasuk pengawas sekolah. Pengawas sekolah tidak hanya mengawasi, namun juga berperan sebagai pelatih, supervisor, dan teman diskusi.
Sekolah penggerak diharapkan mengubah pola pikir semua warga sekolah. Sistem di satuan pendidikan harus digerakkan. Tidak ada lagi potensi guru yang tidak dapat diberdayakan. Tidak ada satu pun peserta didik yang tidak mendapat pelayanan pendidikan. “Semua siswa harus berkembang, mendapatkan intervensi, aktif, ceria, bahagia, tidak ada intimidasi, bullying, ekosistem pendidikan juga aman berkat kepemimpinan kepala sekolah penggerak,” katanya.
Ketiga, jumlah sekolah penggerak yang lahir dari PSP masih kecil dibandingkan total jumlah satuan pendidikan sekitar 300.000. Hingga dua angkatan PSP baru melahirkan 10.000 sekolah penggerak. “Kalau menggantungkan capaian PSP butuh puluhan tahun menuntaskan semua menjadi sekolah penggerak. Sekolah terpilih adalah sekolah yang layak jadi contoh, teladan, sehingga harus menggerakkan sekolah lain. Misalnya di Fakfak, Papua Barat ada satu sekolah penggerak, maka dua tahun ke depan harus muncul karakter layanan pendidikan sekolah penggerak, juga di sekolah-sekolah lain,” kata Direktur Praptono. [Annissa Nurmalia/Pokja Sosialisasi dan Publikasi]
Menurut Dr. Praptono, M.Ed, Direktur Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan (P3GTK), setidaknya ada tiga hal utama dari PSP. Pertama, PSP merupakan gagasan besar dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim. Ide besar Mas Menteri tersebut tidak akan berhasil dijalankan kalau cara berpikir para penyelenggaranya tidak berubah. “Benar-benar kami tekankan, dalam aktivitas dan menjalankan PSP harus berubah. Perubahan mindset sangat penting, sebagaimana ciri khas dari kebijakan Merdeka Belajar,” katanya.
Pak Direktur mencontohkan figur kepala sekolah di masa lalu, jamak yang duduk di belakang meja, memberi perintah, dan cukup mengontrol. Hasilnya, begitu banyak program pelatihan dilakukan, namun perubahan pembelajaran tidak terjadi dan hasil belajar siswa juga tidak optimal. Pelatihan hanya mengubah guru dan tenaga kependidikan pada saat pelatihan. Begitu kembali ke sekolah masing-masing, mereka kembali kepada cara-cara lama. Pada kondisi lain, ada guru datang membawa perubahan setelah mengikuti pelatihan, namun ada resistensi dari kepala sekolah yang masih enggan melakukan perubahan. Ketika guru-guru memiliki persoalan, banyak kepala sekolah tidak dapat memberikan solusi.
Padahal nafas dari kebijakan Merdeka Belajar adalah siswa menjadi pusat layanan aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Guru tidak hanya mengajar berorientasi kepada kurikulum, materi, proses dan strategi yang masih belum menyentuh kapasitas dan kemampuan peserta didik. Arah Merdeka Belajar adalah pembelajaran berpusat kepada murid. Pola pikir para guru dan kepala sekiolah harus berubah.
“Kepala sekolah bukan semata pemimpin administrasi dan manajerial, namun juga pemimpin pembelajaran. Kepala sekolah harus sangat menguasai pedagodik, komunikasi, pendampingan, dan fasilitasi. Merdeka Belajar tidak akan berhasil jika kepala sekolah tidak memiliki kapasitas pempimpin pembelajaran,” kata Praptono.
Kedua, PSP menempatkan kepala sekolah sebagai figur visioner yang mengusung perubahan. Harus ada kebersamaan, gotong royong, kolaborasi semua komponen pendidikan. Bukan hanya guru dan kepala sekolah yang berubah pola pikirnya, termasuk pengawas sekolah. Pengawas sekolah tidak hanya mengawasi, namun juga berperan sebagai pelatih, supervisor, dan teman diskusi.
Sekolah penggerak diharapkan mengubah pola pikir semua warga sekolah. Sistem di satuan pendidikan harus digerakkan. Tidak ada lagi potensi guru yang tidak dapat diberdayakan. Tidak ada satu pun peserta didik yang tidak mendapat pelayanan pendidikan. “Semua siswa harus berkembang, mendapatkan intervensi, aktif, ceria, bahagia, tidak ada intimidasi, bullying, ekosistem pendidikan juga aman berkat kepemimpinan kepala sekolah penggerak,” katanya.
Ketiga, jumlah sekolah penggerak yang lahir dari PSP masih kecil dibandingkan total jumlah satuan pendidikan sekitar 300.000. Hingga dua angkatan PSP baru melahirkan 10.000 sekolah penggerak. “Kalau menggantungkan capaian PSP butuh puluhan tahun menuntaskan semua menjadi sekolah penggerak. Sekolah terpilih adalah sekolah yang layak jadi contoh, teladan, sehingga harus menggerakkan sekolah lain. Misalnya di Fakfak, Papua Barat ada satu sekolah penggerak, maka dua tahun ke depan harus muncul karakter layanan pendidikan sekolah penggerak, juga di sekolah-sekolah lain,” kata Direktur Praptono. [Annissa Nurmalia/Pokja Sosialisasi dan Publikasi]